MENGAPA HARUS MENUNGGU SAMPAI DIA “HADIR” KE DUNIA?

Tak sedikit kaum ibu mengeluhkan anak balita-nya yang sulit sekali makan nasi, tetapi doyan banget mie bakso, es krim, permen cokelat, atau kue donat. Padahal, sang ibu sudah menyediakan pelbagai masakan yang menurut pakar gizi sih sudah memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Ketidaksepakatan soal makan ini bukan satu-satunya masalah yang dihadapi pada balita. Ada banyak ketidaksepakatan lain, seperti soal tidur. 

Vira (3 tahun), misalnya, pukul dua belas malam masih melek ingin bermain dengan bonekanya, sementara orangtuanya sudah sangat mengantuk untuk menemani bermain. Atau Damar (2 tahun), paling senang menggoda orangtuanya pada pukul tiga pagi untuk bermain kuda-kudaan. Pada jam saat orang sedang terlelap tidur ini, jangankan menggerakkan badan untuk bermain kuda-kudaan, membuka pelupuk mata saja sudah sulit bagi orangtua Damar.

Sebenarnya pelbagai kebiasaan balita ini  sudah terbentuk saat mereka masih dalam kandungan. Soal makan misalnya, menurut David Chamberlain penulis Babies Remember Birth, yang dikutip dalam buku Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, pada usia kehamilan delapan minggu, indra perasa mulai muncul pada lidah bayi. Pada minggu kedua belas, bayi sudah dapat menelan, dan mengecap rasa pada usia dua puluh minggu sebelum kelahiran.

Sementara itu, ibu-ibu hamil, demi memanjakan selera makannya yang terkadang tidak umum, sering hanya doyan makanan jenis tertentu—semisal mie bakso. Tidak heran bila anak balitanya menyukai mie saja karena pola makan ini sudah terbentuk saat dia masih dalam kandungan. Oleh karena itu, penting sekali menurut buku ini, bagi ibu-ibu hamil untuk mempertimbangkan secara saksama makanan yang dikonsumsinya.

Penelitian Pendidikan Pralahir yang sudah dimulai oleh Dr. Van de Carr pada tahun 1979 dan kemudian dituangkan dalam bukunya  menunjukkan bahwa beberapa kebiasaan “baik” yang dibentuk secara kon-sisten oleh ibu-ibu hamil pada dirinya dan “bayinya” selama kehamilan dapat mengurangi pelbagai kesulitan yang mungkin timbul ketika sang anak sudah lahir ke dunia. Secara teratur memperdengarkan irama musik tertentu, kemudian bercerita, dan berdendang untuk si jabang bayi dalam kandungannya, atau melakukan relaksasi, akan memungkinkan ibu-ibu hamil bisa menjalin komunikasi dan membina hubungan positif dengan “bayinya”. 

Pada saatnya, latihan yang dilakukan saat hamil ini ternyata memberikan manfaat yang sangat besar. Bila irama musik yang sama, misalnya, diperdengarkan pada bayi yang sedang rewel, irama musik ini dapat menenangkan, menyamankan, dan bahkan menidurkan-nya. 

Tentu saja langkah-langkah latihan pralahir ini harus secara konsisten diterapkan oleh ibu-ibu hamil untuk mendapatkan bayi yang sehat secara fisik dan cerdas secara emosional. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pemusik-pemusik besar lahir dari orangtua yang sangat “keranjingan” musik karena hampir setiap saat, selama si kecil dalam kandungan, orangtuanya secara konsisten dan telaten bersedia memperdengarkan musik kepadanya. 

Anda dapat mengajarkan pelbagai hal yang positif kepada bayi Anda yang masih dalam kandungan. Jadi, mengapa harus menunggu sampai dia lahir ke dunia?

Bukankah akan mengasyikkan bercengkrama dengan bayi Anda sebelum dia lahir? Dan ini dimungkinkan karena—menurut Robert Hall, editor buku Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan “Sulit dijelaskan, tetapi tiba-tiba bayi tersebut menjadi nyata bagi saya. Semua kegembiraan, kecemasan, dan harapan dalam penantian itu dihiasi dengan pikiran bahwa pada akhirnya kami akan berjumpa dengan si kecil yang selama ini telah kami ajak bermain dan berbincang-bincang.”

Penerbit Pelangi Mizan

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *